SUKU NIAS
1. Letak Geografis Pulau Nias
Pulau Nias dan kepulauan sekitarnya terpisah dari daratan besar Pulau Sumatera berjarak sekitar 80 mil atau 120 km. Terletak di pantai barat Sumatera. Panjangnya k.l. 140 km dan lebar 40 km. Berstruktur pegunungan yang sambung-menyambung dengan aliran-aliran sungai besar-kecil yang sangat banyak. Curah hujan sangat tinggi mencapai 17 hari hujan dalam sebulan akibatnya juga kelembaban udara tinggi. Letak geografis ini menjadikan Nias ujung terjauh di pantai barat, dilihat dari pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia di Jakarta dan dari ibukota Provinsi Sumatera Utara di Medan. Letak geografis inilah faktor penyebab masayarakat Nias sering luput dari perhatian pusat dan dari pemerintah propinsi Sumatra Utara.
Karena kebanyakan wilayahnya bergunung-gunung sungguh sangat terbatas jumlah jalan raya dan sungguh sulit transportasi. Banyak jalan sempit dan berliku-liku. Yang terbilang daerah datar hanyalah sekitar daerah pantai yang tidak seberapa luas. Faktor ini penyebab pulau Nias agak sulit dicapai dari pebagai penjuru, minim kontak dengan dunia luar yang menyebabkan masyarakat agak tertutup dan tebilang tertinggal dalam banyak hal. Biaya transportasi dan komunikasi di kelima wilayah kabupaten/kota (Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat dan Kota Gunungsitoli) sungguh sangat mahal.
Karakteristik Masyarakat Suku Nias
Masyarakat Nias hidup dari bercocok tanam dan beternak. Jenis tanaman umum: padi, ubi, pisang, talas, sagu dan jagung dan ragam jenis sayuran seperti bayam, kangkung, kecipir dan kacang panjang. Hasil bumi utama karet, kopra, coklat, pisang, pinang, pala dan nilam. Ternak kesayangan utama adalah babi, ayam dan sejumlah kecil yang beternak kambing dan lembu. Hidangan adat adalah daging babi yang dimasak dengan merebus dan dihidangkan keseluruhan bagian (lambang kesempurnaan, ketulusan dan keutuhan). Mereka yang sekitar pantai hidup dari hasil tangkapan ikan dalam jumlah kecil. Buah-buahan yang populer: durian, langsat, manggis, rambutan, kuaeni, mangga, marpala dan kedondong. Durian Nias disanjung karna lebih manis dan lezat. Yang lebih top adalah “duria balaki”, dagingnya kuning dan tebal, berbiji kecil. Minuman lokal beralkol adalah tuak dari pohon kelapa dan aren. Agak khas tuak Gunngsitoli berwarna kemerahan karena raru dari kulit batang durian. Bila tuak mentah dididihkan maka akan dihasilkan arak yang dinamai tuo nifarö yang bisa membuat seseorang sesaat high. Jenis kayu-kayuan lumayan banyak yang dipakai untuk kebutuhan papan. Orang Nias berupaya sangat agar rumahnya dibangun oleh tukang yang pandai. Tentang kemahiran bertukang kayu, W. Marsden menulis (1811): “This people are remarkable for their docility and expertness in handycraft work, and become excellent house-carpenters and joiners …” Aktivitas lain adalah pandai emas, pandai besi, membuat anyaman dan berburu. Dalam bercocok tanam, membangun rumah dan pekerjaan lain, warga Nias sangat peduli pada sejumlah tabu pertanda sifat takluk pada tahyul-tahyul. Misalnya, mendirikan tiang-tiang rumah haruslah di pagi subuh. Peralatan pertanian sungguh sangat sederhana, bekerja lebih banyak dengan parang dan kampak. Mencangkul dan membajak kurang dikenal. Corak hidup ini menyebabkan masyarakat sangat melekat pada bidang tanah warisannya.
Jadi, dari pernyataan diatas masyarakat suku nias adalah masyarakat yang mengutamakan
Tradisi-tradisi yang telah ada sejak dahulu. Dengan giat untuk mempertahankan kehidupannya mereka dengan bercocok tanam, menggunakan apapun yang ada disekitarnya untuk bertahan hidup. Berikut adalah penelaahan karakteristik masyarakat suku nias:
1). Penghasilan / pendapatan secara umum tidak tetap (tergantung musim dan cuaca). Biaya sekolah, pengobatan, tambahan gizi dan rekeasi hampir tidak ada. Karena itu penciptaan lahan pekerjaan sangat mendesak.
2). Jumlah anggota dalam keluarga rata-rata banyak (pertambahan penduduk di atas 2% per tahun).
3). Infrastruktur (jalan-jembatan) yang minim sekali sehingga hasil bumi dan barang kebutuhan kebanyakan masih dipundak. Sudah lumayan pelebaran jalan raya yang dihotmix, berkat bantuan kemanusiaan warga dunia yang tersalur lewat BRR NAD Aceh-Nias sesudah bencana gempa. Sepanjang masa akan disyukuri kabaharuan ini.
4). Hampir tidak ada pabrik apalagi industri yang menyerap tenaga kerja. Harap dalam 30 tahun mendatang akan ada tambang minyak dan tambang batubara.
5). Kendala bahasa (kurang terbiasa berbahasa Indonesia apalagi Bahasa Eropa modern) menghambat pergaulan dan komunikasi dengan orang luar.
6). Gampang konflik yang menghambat terobosan usaha dan ragam kegiatan.
7). Cukup berakar alam pikir / mentalitas: salio (yang cepat), sebua (yang besar-besar), saoha (yang gampang), soroma (yang nampak, kasat mata), saro (yang kokoh). Ini pertanda kurang sabaran dan tanpa mau banyak capek.
8). Pemborosan dalam pesta-pesta keluarga khususnya dalam pesta nikah dengan biaya tinggi dan juga untuk pesta pemakaman orangtua. Mungkin warga Nias yang terbanyak makan daging babi dalam hitungan bulan. Asal ada sedikit pesta, potong babi besar/kecil, atau minimal beli daging kilo. Daging ayam atau ikan tidak terhitung makanan bernilai adat.
9). Penyakit yang menahun: malaria, asma/tbc, kematian anak lahir, hypertensi. kolestrol karena terlalu kerap konsumsi daging babi. Penyakit stroke akhir-akhir ini merata di mana-mana juga.
10).Kelewat melindungi kaum perempuan sehingga mereka sulit bergerak atau berkreativitas.
11).Pujian warga terhadap pendatang dari suku lain atau pendatang dari luar negeri: I’ila dödöda (tau keinginan kita, mau memberi dan menolong), I’ila lida (tahu bahasa kita), I’ila hada khöda (paham adat kita), fahuwu ia khöda (bersahabat dengan kita), I’a göda (dia ikut makan bersama kita).
Sumber :
google
http://www.stp.dian-mandala.org/2009/07/10/karakteristik-masyarakat-nias/
Kenapa ora niha ga bisa tetap kata2 nya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus